"Yuda ... Ayah sudah menemukannya!"
Ayah menghampiriku dengan wajah sumringah, ketika aku baru saja pulang dari kantor.
Aku mencium tangan Ayah dengan takzim.
Ayah adalah satu-satunya yang paling berharga aku miliki di dunia ini. Di usianya yang sudah senja, Aku belum bisa membahagiakannya.
Ayah sangat ingin aku segera menikah. Namun Ayah tidak pernah setuju setiap aku memperkenalkan teman dekat wanitaku padanya.
Aku menghempaskan tubuhku pada kursi empuk di samping Ayah.
"Tadi Ayah bilang menemukan siapa?" tanyaku seraya membuka kancing lengan kemeja dan menggulungnya hingga ke siku.
"Ayah sudah bertemu dengan wanita yang menolong Ayah waktu itu."
"Lalu?" tanyaku lagi, sambil melangkah ke lemari pendingin dan meraih sebuah minuman kaleng, lalu meneguknya.
"Pokoknya kamu harus segera menikahi wanita itu."
"uhuk ... uhuk ... uhuk ...!" Spontan aku terbatuk-batuk karena tersedak.
"Hei, hati-hati minumnya!" Ayah menepuk-nepuk ringan punggungku.
"Ayah, memangnya sudah kenal be
Cinta datang dengan sendirinya.
Cinta tidak bisa dipaksakan
Cinta bisa menerima kekurangan
Cinta membutuhkan pengorbanan
Sambil menggendong Raihan, Aku masih menata meja dengan lauk-pauk. Pembeli masih sepi. Mungkin karena pasien puskesmas belum banyak yang datang.
Setelah semua tertata rapi, aku mulai menyiapkan pesanan makan siang untuk proyek dan karyawan puskesmas. Beruntung Mak Isah mau membantuku.
Sejak kemarin wanita setengah baya namun masih cekatan itu mulai membantuku berjualan. Mak isah anaknya sudah besar-besar. Dia juga janda sepertiku. Jadi sejak pagi sudah bisa datang membantuku memasak.
Menurut Mandor Haris, mulai hari ini akan ada yang mengambil pesanan nasi untuk proyek. Jadi aku tidak perlu repot-repot lagi mengantar ke sana. Apalagi sampai bertemu wanita sombong itu. Dasar orang kaya, mentang-mentang bebas, seenaknya saja menghina orang tak punya.
"Salma, bagaimana kabarmu?" Tiba-tiba Bang Adam sudah berdiri di hadapanku.
Aku kembali berjalan bersisian menuju mobil. Tak lupa sebelumnya kembali mencium tangan ibu mertua. Wanita setengah tua itu menatapku sedih. Namun tak ada satu katapun yang terucap darinya.
Aku masih memandang para ipar dan ibu mertua yang mengikutiku keluar. Mereka terus menatapku hingga aku masuk ke dalam mobil mewah ini. Wajah mereka bagaikan seorang anak yang kalah telak setelah bermain game.
Mobil melaju kembali ke arah supermarket mini yang tak begitu jauh jika memakai mobil.
Di dalam mobil aku sama sekali tidak membahas apapun.
"Jadi ke supermarket?" tanya Tuan Yuda setelah kami sudah kembali di dalam mobil.
"Ambillah ini. Beli semua keperluanmu dan Raihan."
Tuan Yuda memberikan sebuah kartu debit beserta nomor pinnya padaku
"Tidak perlu, Tuan. Aku hanya membeli diapers untuk Raihan," sahutku seraya mengembalikan kartu itu padanya.
Pria itu langsung terdiam. Apa dia marah? Mungkinkah dia tersinggung karena aku tidak menerima kartu debitnya?
"Maafkan aku! Emak jadi kerepotan. Kenapa nggak panggil aku tadi?" ujarku seraya meraih Raihan dari gendongan Mak Isah.
"Nggak apa-apa, Salma. Emak dulu juga seperti kamu. Kerja sambil gendong anak."
Aku gegas ikut membantu Mak Isah melayani pembeli. Dadaku berdegup kencang ketika kusadari ada sepasang mata yang memperhatikanku dari depan ruang UGD sejak tadi.
Ya Tuhan. Kenapa aku jadi grogi seperti ini.
Salma! Jangan salah salah tingkah! Bisa saja laki-laki tampan itu hanya sedang menyelidiki kamu.
Aku berusaha untuk mengingatkan diri sendiri. Bagaimanapun juga, aku ini manusia biasa. Yang bisa jatuh cinta lagi.
Apaa? Jatuh cinta? Apa benar aku merasakan jatuh cinta lagi?
Selepas isya, seperti biasa setelah menidurkan Raihan aku meracik bumbu untuk dimasak besok pagi. Melelahkan memang. Tapi ini adalah satu-satunya cara agar aku bisa melanjutkan hidup. Kadang Aku kasihan dengan Raihan. Waktuku bermain dengannya berkurang. Harusnya Raihan sudah mulai belajar merangkak.
POV Yuda Ayah terlihat masih kurang sehat sejak peristiwa perampokan beberapa waktu lalu. Namun pria yang sudah berumur enam puluh tahun itu masih saja bersikeras ingin pergi mencari wanita yang menolongnya. "Sudahlah, Ayah. Wanita itu sudah aku beri uang banyak. Itu sudah lebih dari cukup." "Enak saja kamu bicara! Bahkan kebaikannya tak bisa dinilai dengan apapun. Wanita itu telah menyelamatkan nyawaku!" tegas Ayah yang sedang bersandar pada sofa di ruang keluarga. Rumah sebesar ini hanya aku dan Ayah serta beberapa pelayan yang tinggal di sini. "Ayah terlalu berlebihan. Bukankah nyawa seseorang hanya Allah yang mengetahui." "Yuda, andai waktu itu wanita itu tidak mau menolong Ayah. Entah apa yang akan terjadi pada Ayahmu ini. Coba kamu bayangkan! Wanita itu mendorong geroba
Aku dan Raihan mendekati Salma.
"Ndaaa ..., ndaaa." Raihan mengikuti ucapanku.
Salma tersenyum pada Raihan tanpa menoleh padaku. Ada apa denganmya?
"Sayang, kamu kenapa?"
Raihan sedang asik bermain di karpet permadani. Anak itu sesekali berjalan dan berguling-guling.
Salma masih terdiam saat aku tanya. Perlahan aku duduk disampingnya. Lalu kuraih tubuhnya dan menyandarkan ke dadaku. Syukurlah dia menurut.
"Kamu kenapa diam, Sayang?" tanyaku lagi. Kali ini sambil membelaii lembut kepalanya.
"Maaf, Mas. Tadi ... tidak sengaja aku mendengar pembicaraanmu dengan Mira."
Astaga! Jadi, Salma sudah tau? Apa sebaiknya aku katakan sejujurnya tentang hubunganku dulu dengam Mira?
"Apa yang kamu dengar, Sayang?"
"Ada hubungan apa Mas dengan Mira?"
Aku menghela napas panjang. Semoga saja Salma mau memahamiku.
"Mira itu dulu kekasihku. Namun dulu di lebih memilih Rio. Karena saat itu Rio jauh lebih mapan dariku."
Kami sesaat terdiam. Sungguh luar biasa istrik
Ayah pasti menanyakan tentang Salma. Sementara aku masih belum berhasil mengajaknya tinggal di sini. Aku mendekati Ayah yang sedang menikmati makan malam. "Yuda, kamu tidak makan?" "Nanti saja, Yah!" Aku meraih satu kursi dan duduk tepat di depan Ayah. "Memang, kalau orang sedang jatuh cinta itu tidak enak makan, tidak enak tidur, semua serba salah," ujar Ayah santai sambil terus menikmati makanannya. "Ayah ngomong apa, sih?" sahutku pura-pura tidak paham. "Memangnya Ayah tidak tau, belakangan ini kamu uring-uringan nggak jelas. Sikap kamu itu aneh." "Benarkah?" Ayah geleng-geleng melihatku. "Apa kamu berhasil mengajak Salma pindah ke sini?" Kali ini Aku yang menggeleng. "Entah apalagi yang harus aku lakukan, Yah. Kartu debitku ditolak. Bahkan rumah seharga sepuluh milyar yang aku siapkan untuknya juga ditolak," sahutku sedih. "Dasar bodoh! Kamu pikir Salma itu sama dengan wanita-wanita yang kamu pacari selama ini? Yuda, Salma itu berbeda. Dia istimewa. Hatinya tulus,
Go where you want to go.
The happiest of people don’t necessarily ha the best of everything.
For only they can appreciate the import ance of people looking cause interesed.
Even when our position and our character seem to remain precisely the same, they are changing.
Even when our position and our character seem to remain precisely the same.
Even when our position and our character seem to remain precisely the same.
Go where you want to go.
The happiest of people don’t necessarily ha the best of everything.
For only they can appreciate the import ance of people looking cause interesed.
Even when our position and our character seem to remain precisely the same, they are changing.
Even when our position and our character seem to remain precisely the same.
Even when our position and our character seem to remain precisely the same.
Go where you want to go.
The happiest of people don’t necessarily ha the best of everything.
For only they can appreciate the import ance of people looking cause interesed.
Even when our position and our character seem to remain precisely the same, they are changing.
Even when our position and our character seem to remain precisely the same.
Even when our position and our character seem to remain precisely the same.